Author Fesmi 08 December, 2021
Press Release FESMI - Federasi Serikat Musisi Indonesia / FESMI, salah satu organisasi tempat bernaung musisi Indonesia, mempertanyakan upaya para pihak produser tertentu dalam hal ini adalah perusahaan rekaman (Pemohon), yang memohon pengujian UU Hak Cipta tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan antara lain menyangkut penghapusan pengembalian hak cipta dan hak terkait kepada pemilik karya lagu dan pelaku pertunjukan (dalam hal ini adalah penyanyi dan pemusik rekaman) setelah 25 tahun masa perjanjian jual putus berlalu. FESMI berpendapat bahwa hal tersebut dapat ‘membuka luka lama’ para pencipta lagu dan penyanyi serta pemusik yaitu menimbulkan kembalinya praktik yang berat sebelah (penjualan dengan harga tidak sesuai), antara produser dengan pencipta lagu dan/atau pelaku pertunjukan (penyanyi dan pemusik).
Undang Undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014 (UU Hak Cipta 2014), yang saat ini beberapa pasalnya dimohonkan untuk diuji, pada dasarnya memberikan perlindungan hukum secara terpisah kepada masing-masing profesi dalam dunia musik, yakni, Pencipta Lagu (atas karya lagu), Pelaku Pertunjukan (atas suara penyanyi dan pemusik yang direkam) dan Produser / Perusahaan Rekaman (atas master, yang berisikan lagu dan nyanyian). Hak Pelaku Pertunjukan dan Hak Produser juga diistilahkan Hak Terkait.
Sebagai latar belakang, puluhan tahun sebelum UU Hak Cipta 2014, praktik jual putus atas lagu dan nyanyian dilakukan oleh Produser kepada mereka yang berada pada posisi lemah, yang mengakibatkan hak ekonomi berpindah selamanya ke tangan Produser. Atas perjuangan beberapa tokoh musik yang didukung oleh PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu Pemusik Republik Indonesia), maka UU Hak Cipta melakukan koreksi atas praktik yang berat sebelah dengan memunculkan pasal 18 dan 30, membatasi jual putus ‘selamanya’ menjadi 25 tahun, tanpa menghilangkan hak Produser atas masternya (hingga 50 tahun, yang mana setelah masa ini master menjadi milik masyarakat/habis masa perlindungan).
Pasal 18 dan 30 dalam nomenklatur hak cipta disebut sebagai Termination Rights (Reversionary Rights), yang secara konsekwensi logis memungkinkan pemilik lagu dan nyanyian disatu pihak, dan pemilik master dilain pihak, ‘memutihkan’ perjanjian lama (transaksi jual putus) dengan sebuah perjanjian baru. Nyatanya, sejak 2014 hal ini telah dan terus berlangsung. Ada yang berhasil mengadakan perjanjian baru, tetapi ada juga yang belum, sehingga sebuah master lama (katalog lama) berstatus ‘mangkrak’. Artinya, Produser tidak bisa melanjutkan peredaraan dan Pencipta serta Pelaku Pertunjukan juga tidak bisa mendapat tambahan pendapatan.
Secara logika, master rekaman tidak dapat diproduksi dan dieksploitasi secara maksimal tanpa adanya kreatifitas, peran, dan rasa memiliki dari para pencipta yang menciptakan lagu dan artis rekaman yang membawakan. Maka apabila hak atas perlindungannya untuk berkreasi dan juga perlindungan atas hasil kreatifitasnya ‘dirampas’, niscaya Pencipta Lagu akan menjadi tidak bergairah lagi dalam berkarya. Hal tersebut didukung oleh kenyataan bahwa, Hak Cipta adalah hak yang fundamental (sifat nya hak asasi) dan memiliki gradasi utama dibanding hak terkait (fonogram/master rekaman) yang bersifat turunan. Dengan Pasal 18 dan 30 UU Hak Cipta 2014, pihak Pencipta dan Pelaku Pertunjukan cenderung akan lebih memiliki posisi berimbang karena mereka bisa kembali mendapatkan hak ekonomi-nya dari penjualan master rekaman; begitu juga pemilik master tetap dapat mengeksploitasi master rekaman selama jangka waktu edar sesuai kesepakatan para pihak.
Setelah mengkaji berkas permohonan MK terkait, maka organisasi FESMI mengambil sikap sebagai berikut :
1. Berkeberatan dengan permohonan yang diajukan Pemohon dalam pengujian pasal 18 & 30 UU Hak Cipta 2014 serta mempertanyakan pernyataan Pemohon bahwa UU Hak Cipta pasal 18 & 30 disebut inkonstitusional dengan alasan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Organisasi berpandangan, permohonan pengujian justru mengabaikan alasan sejarah terkait munculnya Pasal 18 dan Pasal 30 dalam UU Hak Cipta 2014, yang merupakan koreksi atas praktik jual putus yang tidak menguntungkan bagi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Sebagai catatan, dalam Copyright Act negara Amerika yang bersifat liberal juga tersedia pasal Termination Rights.
2. Meminta MK mempertimbangkan untuk menolak permohonan pengujian berikut dengan alasannya, yang menghendaki dihapusnya Pasal 18 dan Pasal 30 UU Hak Cipta 2014. Permintaan organisasi untuk di atas semata-mata agar perlindungan ‘kodrati’ bagi Pencipta Lagu dan Pelaku Pertunjukan dapat tetap terlaksana, sesuai Amanat UUD 1945 khususnya Pasal 28, jika dikaji secara utuh.
3. Mengajak segenap Pencipta Lagu, Pelaku Pertunjukan baik secara individu maupun secara bersama-sama melalui perkumpulan dan / atau organisasi yang mewakilinya untuk meningkatkan kepedulian, menyatukan persepsi dan turut menyuarakan hal-hal tersebut di atas.
Sumber Foto ; detik.com